Rabu, 08 April 2009

Pembuatan Paspor

Pada bulan Februari lalu, saya mengajukan permohonan paspor baru di Kanim Cirebon. Sebelum datang ke kantornya, terlebih dulu saya mencari informasi tentang persyaratannya dengan membuka situs resminya di www.cirebon.imigrasi.go.id. (beberapa jam yang lalu, saya membuka situs ini namun tampilannya sudah diperbarui).

Adapun persyaratan untuk pembuatan paspor adalah sbb:

1. Bukti domisili, terdiri dari:
  • Bagi WNI yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK).
  • Bagi WNI yang bertempat tinggal di luar negeri, Tanda Bukti Penduduk (Identity Card) negara setempat, atau Bukti/Petunjuk/Keterangan lain yang menunjukkan bahwa Pemohon bertempat tinggal di negara tersebut.
2. Bukti Identitas diri, antara lain:
  • Akte kelahiran atau surat kenal kelahiran;
  • Akte perkawinan/buku nikah;
  • Ijazah;
  • Surat baptis;
  • Surat keterangan lainnya yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah

3. Surat ganti nama, bagi mereka yang pernah ganti nama.

4. Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/POLRI, melampirkan surat rekomendasi dari
instansinya.

5. Khusus untuk calon TKI melampirkan Surat Rekomendasi dari Departemen/Dinas Tenaga Kerja, dan bagi pelaut melampirkan buku pelaut.

6. Paspor lama bagi pemohon yang sebelumnya pernah memiliki paspor.


Jadi bagi rekan-rekan yang ingin mengajukan permohonan visa baru, beberap poin di atas adalah syarat yang harus dilengkapi. Untuk poin 1 (a) agar jangan sampai dilupakan, KTP dan KK menjadi satu paket lengkap yang tidak bisa dipisahkan.


Untuk poin 4, kenapa saya cetak tebal?
Berdasarkan pengalaman saya saat membuat paspor, tidak hanya PNS/TNI/ maupun POLRI saja yang diwajibkan membawa serta surat rekomendasi. Untuk pegawai swasta pun demikian. Ironis memang, saya pun dulu sudah jauh-jauh datang dari Indramayu ke Cirebon, menempuh 1-1,5 jam perjalanan...belum lagi menunggu antrian di kantor imigrasi yang memkan waktu berjam-jam lamanya ternyata ditolak hanya karena kurang satu syarat (surat rekomendasi dari tempat saya bekerja). Padahal, persyaratan yang saya siapkan itu sudah disesuaikan dengan yang tertera di website kanim. Namun, informasi persyaratan di website ternyata tidak sesuai dengan yang tertera di papan pengumuman yg ada di dinding kanim.


Tidak lupa saya ingatkan juga, fotocopy semua dokumen yang disyaratkan (KTP, KK, dll)!!! SERTAI PULA DENGAN DOKUMEN ASLINYA. Dan jika ada, bawa serta surat undangan dari pihak yang mengundang anda.

Nah, adapun biaya pembuatannya, untuk paspor hijau 48 halaman adalah sebesar 270 Ribu Rupiah, sudah termasuk foto dan sidik jari (jadi kalau petugas meminta uang tambahan, sebaiknya waspadai). Jika ada informasi yang kurang jelas, sebaiknya segera hubungi Kanim di tempat anda tinggal, dan konfirmasikan persyaratannya. Agar jangan sampai setelah menempuh perjalanan jauh, anda malah kecewa (lama antri, tapi ditolak karena persyaratan yang tidak lengkap). Demikianlah rekan-rekanku,,,semoga informasi ini bermanfaat bagi siapa saja.




Minggu, 08 Maret 2009

Rindu Kampung Halaman

"Bermula dari diskusi tentang rencana membuat usaha kuliner di Bandung, suami saya menyarankan untuk mulai belajar menulis kembali. Membiasakan diri untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain. Tujuannya, segala hal yang berkaitan dengan usaha yang akan saya bangun itu bisa diketahui oleh orang lain, terutama teman2 dekat dulu.

Saya jadi berfikir..kira2 apa yang mungkin bisa saya tulis. Semasa SMA, saya memang suka sekali menulis, baik itu puisi, cerpen dsb. Tapi itu pun hanya untuk kalangan terbatas :) tiba2 saya teringat sesuatu..."

Ketika saya kanak-kanak, saya mengenal sebuah permainan tradisional petak umpet. Bersama teman2, setelah shalat maghrib di masjid dan mengaji, kami memulai permainan tersebut. Jumlah pemain dalam permainan ini biasanya antara 5 sampai 10 orang. Aturannya, satu orang menjaga dan yang lainnya bersembunyi. Jika seluruh pemain sudah ditemukan oleh penjaga, maka permainan pun berakhir. Demikian seterusnya sampai kami merasa bosan dan berganti ke permainan lainnya.

Saya merasa bahwa masa kecil saya sungguh mengagumkan dan menarik. Saya masih memiliki kesempatan untuk mengenal budaya daerah di tempat saya tinggal. Kala itu semua masih tampak sederhana, tidak ada nintendo ato PS, tidak ada timezone, dan sebagainya. Jika teman2 pernah menonton salah satu program acara anak di Trans7, Surat Sahabat....wah, itu membuat saya kangen dengan kampung halaman :) Sejak saya berusia 4 tahun, saya sudah mulai belajar berenang di sungai. Ho ho ho, jangan dibayangkan sungai yang indah dengan dipenuhi bebatuan ya :D karena saya tinggal di daerah pesisir, otomatis sungai di sini berwarna cokelat susu. Sungai di kampung saya merupakan saluran irigasi bagi petani. Maklum, kampung saya juga termasuk salah satu lumbung padi di Jawa Barat. Selain untuk kepentingan irigasi, sungai juga dimanfaatkan untuk kepentingan warga sehari-hari seperti mandi, mencuci dan lain2.

Acara mandi di sungai efektif juga sebagai ajang menjalin tali silaturahmi :)) karena, informasi seputar perkembangan kampung dan para tetangga bisa diperoleh melalui warga saat mereka beraktifitas di sungai. Menakjupkan! ^^ saya mulai kenal gosip dari sungai :)) hahhahahaha

18 Tahun sudah berlalu sejak saya meninggalkan kampung tercinta. Saya rindu kenangan2 di masa itu. Sayang, ada perubahan dari nilai2 yang dulu dianut :( warga masyarakat yang dulu saya kenal cukup sederhana, sekarang berubah menjadi masyarakat hedonis. Kehidupan semacam ini didapat melalui media massa. Sinetron, ini merupakan virus ampuh. Teman2 pastilah pernah menonton sinetron, atau malah menjadi salah satu penggemarnya? Cinta Fitri misalnya? atau Wulan, Nikita?? siapa tahu ya :) program acara seperti ini miskin unsur edukasi. Untuk masyarakat yang tinggal di kota dengan tingkat pendidikan tinggi serta wawasan lingkungan yang memadai misalnya, apa yang digambarkan dalam sinetron mungkin bukan masalah. Toh itu hanya dianggap sebagai sebuah lakon yang diperankan oleh bintang film, artis, seleb. Tapi bagi warga masyarakat desa dengan tingkat pendidikan rendah, ini akan menjadi bencana.

Mendengar beberapa cerita dari keluarga saya, seorang tetangga di kampung ada yang meninggal lantaran menaruh emosi berlebihan saat menonton sinetron Tersanjung yang ditayangkan di Indosiar. Emosi melihat si pemeran utama yang selalu mendapat perlakuan jahat dari musuhnya, si bapak malah kena serangan jantung. Lucu sih memang, tapi ini fakta. Ada juga, seorang ibu harus bermusuhan hanya gara2 beradu argumen tentang sinetron tertentu. Selain masalah2 seperti ini, kemudian muncul juga budaya hedonis. Misalnya saja para remaja usia sekolah ato bahkan para ibu2, kepingin punya HP bagus, rambut rebonding, potong bob, segi, pakaian seperti artis2 sinetron, dsb. Bermula dari sini kemudian ekonomi menjadi tolak ukur nilai penghormatan seseorang terhadap orang lainnya. Saat saya kuliah, beberapa dosen berdiskusi dengan saya tentang masalah sosial yang terjadi di kampung saya, yaitu prostitusi anak di bawah umur.

Saya tidak bisa mengelak, berdasarkan fakta yang ada memang banyak sekali orang tua yang menjual anak2 gadis mereka yang masih di bawah umur untuk menjadi PSK (pekerja seks komersil). Daerah operasi mereka antara Jakarta dan Batam. Selain masalah prostitusi anak, pernikahan dini pun makin dihalalkan. Bayangkan saja, saat saya berusia 18 tahun, salah satu teman SD saya sudah memiliki anak berusia 3 ato 4 tahun. Ketidakmampuan biaya membuat teman2 saya harus putus sekolah, sebagai jalan keluarnya mereka menikah muda dengan alasan kalau seorang wanita sudah menikah, maka suamilah yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya kedepan. Tapi pemikiran itu malah membawa mereka ke masalah dengan tingkat yang lebih tinggi, kekurangan gizi saat hamil, rendahnya pemahaman tentang kehamilan, ini juga yang pernah menyeret salah seorang teman saya ke ajalnya. Waaah..menyedihkan sekali, coba kak Seto tahu ya?? :p

Soal ekonomi itu...ada beragam cara untuk brusaha lebih "dihormati". Termasuk menganggap sah menjerumuskan anggota keluarga ke dunia prostitusi. Itu semua dilakukan demi mencapai nilai2 yang mereka tangkap dari gambaran kehidupan mewah di perkotaan melalui tayangan televisi.

Wah..persoalan jadi melebar ya? :) Padahal, saya hanya ingin membagi sebuah kisah di masa kecil saya. Kembali pada persoalan tentang petak umpet dan sungai tadi. Seiring dengan perkembangan jaman, apa yang pernah saya dapatkan dulu hampir2 tidak bisa ditemui lagi oleh anak-anak seusia saya kala itu. Sekarang mereka lebih familiar dengan PS, meja biliard, dan untuk permainan kelereng, lompat tali, engklek, gubak sodor dan permainan tradisional lainnya sudah tidak mendapat tempat di hati.